Kicauan jurnalis The Jakarta Post mengenai laporan SPT Pajak Presiden SBY dan keluarga sungguh tidak beretika. Data-data yang dimuat dalam artikel patut dipertanyakan keabsahannya karena sudah pasti diperoleh dengan cara-cara yang melawan hukum.
Merujuk kepada ketentuan Pasal 34 UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang menyebutkan “Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, “ tentu dapat disimpulkan bahwa tidak ada seorangpun yang berhak memberitahukan apalagi membocorkan informasi yang terkandung dalam suatu laporan SPT.
Lebih jauh lagi, terkait dengan rincian nilai deposito dan transaksi perbankan yang dibeberkan dengan detail dalam artikel tersebut, kita harus merujuk kepada bunyi Pasal 40 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yaitu : “Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya, ... “ Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, tidak sulit rasanya menyimpulkan bahwa cara jurnalis The Jakarta Postmemperoleh data-data tersebut melanggar hukum.
Kewajiban Wajib Pajak untuk melaporkan SPT Pajaknya merupakan self assesment, artinya kebenaran isinya menjadi tanggungjawab pribadi si Wajib Pajak. Persoalan benar tidaknya laporan tersebut menjadi persoalan lain, karena Dirjen Pajak memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan guna menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UU No. 28 Tahun 2007.
Ketiga poin diatas jelas menggambarkan bahwa kritik yang dilontarkan terhadap Presiden SBY dan keluarga terkait pelaporan SPT Pajaknya kurang tepat. Sebagai Wajib Pajak Presiden SBY memiliki hak untuk membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan, hal mana diatur dalam Pasal 6 PP No. 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan. Artinya, jika setelah dilakukan pemeriksaan terhadap laporan pajak ternyata terdapat kesalahan atau ketidakbenaran data dan informasi, Wajib Pajak dapat memperbaiki Surat Pemberitahuan Tahunannya tanpa dikenai sanksi apapun. Dalam hal ini tentulah Presiden sebagai Wajib Pajak akan tunduk pada ketentuan tersebut dan akan bertanggungjawab terhadap hasil verifikasi dan pemeriksaan pihak Dirjen Pajak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar