Dirjen
Pajak Enggan Berkomentar Terkait Kasus Hadi Poernomo
Direktorat
Jenderal pajak Fuad Rahmany enggan berkomentar terkait kasus keberatan wajib
pajak atas surat ketetapan pajak nihki (SKPN) PT Bank BCA tahun 1999-2003, yang
melibatkan mantan dirjen pajak, Hadi Poernomo.
Fuad
belum bias memberikan keterangan lebih lanjut, terkait kasus dugaan
penyalahgunaan kewenangan yang terjadi lebih dari sepuluh tahunlalu, karena
dirinya baru menjabat sebagai dirjen pajak sejak 2011.
Ia
menyerahkan keseluruhan penyelidikan kasus ini kepada komisi pemberantasan
korupsi (KPK), karena institusi direktprat jenderal pajak belum mendapatkan
detail keseluruhan dan penjelasan kasus ini dari KPK.
Sebelumnya
KPK menetapkan mantn ketua badan pemeriksaan keuangan (BPK) Hadi Poernomo
sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dalam menerima seluruh keberatan wajib
pajak atas surat ketetapan Pajak nihik (SKPN) PT Bank BCA tahun 1999-2003.
Kasus
yang menjerat Hadi Poernomo adalah dugaan penyalahgunaan wewenang karena
memberikan nota untuk menerima keberatan pajak penghasila badan (PPH) 1999-2003
sehingga merugikan keuangan Negara sebesar Rp 375 miliar.
Penjelasan
BCA Soal Kasus Pajak yang Membelitnya
PT Bank
Central Asia Tbk (BCA) menyampaikan informasi mengenai kasus perpajakan
yang terjadi pada tahun 1999. Di mana, BCA sebagai wajib pajak (WP) telah
memenuhi kewajiban dan menjalankan haknya melalui prosedur dan tata cara
perpajakan yang benar, sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.
Presdir BCA Jahja Setiaatmadja menjelaskan, kronologis perpajakan BCA
untuk tahun fiskal 1998, BCA mengalami kerugian fiskal sebesar Rp29,2 triliun
yang merupakan akibat dari krisis ekonomi.
Berdasarkan UU yang berlaku, maka kerugian dimaksud dapat dikompensasikan
dengan penghasilan (Tax loss
carry forward) mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan lima
tahun. Selanjutnya, pada 1999 BCA sudah mulai membukukan laba fiskal pada 1999
sebesar Rp174 miliar.
Namun, pada 2002, Ditjen Pajak telah melakukan
koreksi laba fiskal periode 1999 menjadi Rp6,78 triliun. Di dalam nilai
tersebut terdapat koreksi yang terkait dengan transaksi pengalihan aset
termasuk jaminan sebesar Rp5,77 triliun yang dilakukan dengan proses jual beli
dengan BPPN yang tertuang dalam perjanjian jual beli dan penyerahan
piutang.Tapi ini dilakukan sejalan dengan SKB, instruksi MenKeu dan Gubernur BI
pada 26 Maret 1999.
Tidak hanya itu, mengenai transaksi pengalihan
asset, Jahja mengungkapkan merupakan
jual beli piutang, namun, ditjen pajak menilai transaksi tersebut sebagai
penghapusan piutang macet. Oleh karena itu, pada 17 juni 2003 BCA mengajukan
keberatan kepada ditjen Pajak atas koreksi pajak yang telah dilakukan.
Sambung Jahja, pada saat berakhirnya masa
kompensai kerugian pajak pada 1998, masih terdapat kompensasi yang belum
digunakan sebesar Rp7,81 triliun, namun keberatan BCA atas koreksi pajak
senilai Rp5,77 triliun tidak diterima oleh Ditjen Pajak. Keberatan tersebut
disampaikan melalui SK No. KEP-870/PJ.44/2004 pada 18 Juni 2004. Dan masih
terdapat sisa tax loss carry
forward yang dapat dikompensasikan sebesar Rp2,04 triliun, tapi sisa tersebut
tidak bisa dipakai lagi karena hangus setelah 2003.
Bukti KPK Jerat Hadi Poernomo di Kasus Pajak
BCA
Ketua BPK, Hadi Poernomo telah ditetapkan sebagai tersangka kasus
pajak PT Bank BCA. Hadi disangka telah melakukan beberapa perbuatan semasa
menjabat sebagai Dirjen Pajak hingga mengakibatkan kerugian keuangan Negara.
Kasus ini berawal pada 17 Juli 2003 saat Bank BCA
mengajukan keberatan pajak atas transaksi Non Perfomance Loan (NLP) senilai Rp
5,7 triliun kepada Direktur PPH. Bank BCA keberatan dengan nilai pajak yang
harus dibayar karena nilai kredit macet mereka mencapai Rp 5,7 triliun.
Namun, Hadi Purnomo yang saat itu duduk sebagai
Dirjen Pajak pada 17 Juli 2004 mengirim nota dinas kepada Direktur PPH. Dalam
nota dinas tersebut ditulis bahwa supaya Direktur PPH mengubah kesimpulan yang
semula dinyatakan menolak diubah menjadi menerima seluruh permohonan PT Bank
BCA. Padahal, jatuh tempo pembayaran pajak PT Bank BCA jatuh pada tanggal 18
Juli 2004.
saudara HP (Hadi Poernomo) mengeluarkan SKPN,
tanggal 18 Juli 2004 yang memutuskan menerima seluruh permohonan wajib pajak,
sehingga tidak ada cukup waktu bagi Dirjen PPH untuk menelaah. Kemudian saudara
HP selaku Dirjen Pajak yang saat ini menjabat ketua BPK, mengabaikan adanya
fakta materi keberatan yang sama oleh bank BCA diajukan oleh bank lain tapi
ditolak, di sinilah duduk persoalan kasus tersebut.
Masalah lain adalah tahun pajak yang dibebankan
kepada Bank BCA adalah tahun 1999. Namun, BCA baru mengirimkan surat keberatan
pada 2003. Terkait
hal ini, KPK masih mendalami ada tidaknya penerimaan yang diterima oleh Hadi
Poernomo yang telah menguntungkan Bank BCA. Namun, terkait perbuatan Hadi
Poernomo, negara dirugikan sekitar Rp 375 miliar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar