Blogger Widgets

Pages

Kepengurusan HMMB 2016

SELAMAT DATANG DI BLOG HIMPUNAN MAHASISWA MANAJEMEN BISNIS POLITEKNIK NEGERI BATAM

Selasa, 29 April 2014

Kasus Keberatan Pajak Bank BCA

Dirjen Pajak Enggan Berkomentar Terkait Kasus Hadi Poernomo

Direktorat Jenderal pajak Fuad Rahmany enggan berkomentar terkait kasus keberatan wajib pajak atas surat ketetapan pajak nihki (SKPN) PT Bank BCA tahun 1999-2003, yang melibatkan mantan dirjen pajak, Hadi Poernomo.
Fuad belum bias memberikan keterangan lebih lanjut, terkait kasus dugaan penyalahgunaan kewenangan yang terjadi lebih dari sepuluh tahunlalu, karena dirinya baru menjabat sebagai dirjen pajak sejak 2011.
Ia menyerahkan keseluruhan penyelidikan kasus ini kepada komisi pemberantasan korupsi (KPK), karena institusi direktprat jenderal pajak belum mendapatkan detail keseluruhan dan penjelasan kasus ini dari KPK.
Sebelumnya KPK menetapkan mantn ketua badan pemeriksaan keuangan (BPK) Hadi Poernomo sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dalam menerima seluruh keberatan wajib pajak atas surat ketetapan Pajak nihik (SKPN) PT Bank BCA tahun 1999-2003.
Kasus yang menjerat Hadi Poernomo adalah dugaan penyalahgunaan wewenang karena memberikan nota untuk menerima keberatan pajak penghasila badan (PPH) 1999-2003 sehingga merugikan keuangan Negara sebesar Rp 375 miliar.

Penjelasan BCA Soal Kasus Pajak yang Membelitnya

PT Bank Central Asia Tbk (BCA) menyampaikan informasi mengenai kasus perpajakan yang terjadi pada tahun 1999. Di mana, BCA sebagai wajib pajak (WP) telah memenuhi kewajiban dan menjalankan haknya melalui prosedur dan tata cara perpajakan yang benar, sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.
Presdir BCA Jahja Setiaatmadja menjelaskan, kronologis perpajakan BCA untuk tahun fiskal 1998, BCA mengalami kerugian fiskal sebesar Rp29,2 triliun yang merupakan akibat dari krisis ekonomi. Berdasarkan UU yang berlaku, maka kerugian dimaksud dapat dikompensasikan dengan penghasilan (Tax loss carry forward) mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan lima tahun. Selanjutnya, pada 1999 BCA sudah mulai membukukan laba fiskal pada 1999 sebesar Rp174 miliar.
Namun, pada 2002, Ditjen Pajak telah melakukan koreksi laba fiskal periode 1999 menjadi Rp6,78 triliun. Di dalam nilai tersebut terdapat koreksi yang terkait dengan transaksi pengalihan aset termasuk jaminan sebesar Rp5,77 triliun yang dilakukan dengan proses jual beli dengan BPPN yang tertuang dalam perjanjian jual beli dan penyerahan piutang.Tapi ini dilakukan sejalan dengan SKB, instruksi MenKeu dan Gubernur BI pada 26 Maret 1999.
Tidak hanya itu, mengenai transaksi pengalihan asset, Jahja mengungkapkan  merupakan jual beli piutang, namun, ditjen pajak menilai transaksi tersebut sebagai penghapusan piutang macet. Oleh karena itu, pada 17 juni 2003 BCA mengajukan keberatan kepada ditjen Pajak atas koreksi pajak yang telah dilakukan.
Sambung Jahja, pada saat berakhirnya masa kompensai kerugian pajak pada 1998, masih terdapat kompensasi yang belum digunakan sebesar Rp7,81 triliun, namun keberatan BCA atas koreksi pajak senilai Rp5,77 triliun tidak diterima oleh Ditjen Pajak. Keberatan tersebut disampaikan melalui SK No. KEP-870/PJ.44/2004 pada 18 Juni 2004. Dan masih terdapat sisa tax loss carry forward yang dapat dikompensasikan sebesar Rp2,04 triliun, tapi sisa tersebut tidak bisa dipakai lagi karena hangus setelah 2003.

Bukti KPK Jerat Hadi Poernomo di Kasus Pajak BCA

Ketua BPK, Hadi Poernomo telah ditetapkan sebagai tersangka kasus pajak PT Bank BCA. Hadi disangka telah melakukan beberapa perbuatan semasa menjabat sebagai Dirjen Pajak hingga mengakibatkan kerugian keuangan Negara.
Kasus ini berawal pada 17 Juli 2003 saat Bank BCA mengajukan keberatan pajak atas transaksi Non Perfomance Loan (NLP) senilai Rp 5,7 triliun kepada Direktur PPH. Bank BCA keberatan dengan nilai pajak yang harus dibayar karena nilai kredit macet mereka mencapai Rp 5,7 triliun.
Namun, Hadi Purnomo yang saat itu duduk sebagai Dirjen Pajak pada 17 Juli 2004 mengirim nota dinas kepada Direktur PPH. Dalam nota dinas tersebut ditulis bahwa supaya Direktur PPH mengubah kesimpulan yang semula dinyatakan menolak diubah menjadi menerima seluruh permohonan PT Bank BCA. Padahal, jatuh tempo pembayaran pajak PT Bank BCA jatuh pada tanggal 18 Juli 2004.
saudara HP (Hadi Poernomo) mengeluarkan SKPN, tanggal 18 Juli 2004 yang memutuskan menerima seluruh permohonan wajib pajak, sehingga tidak ada cukup waktu bagi Dirjen PPH untuk menelaah. Kemudian saudara HP selaku Dirjen Pajak yang saat ini menjabat ketua BPK, mengabaikan adanya fakta materi keberatan yang sama oleh bank BCA diajukan oleh bank lain tapi ditolak, di sinilah duduk persoalan kasus tersebut.
Masalah lain adalah tahun pajak yang dibebankan kepada Bank BCA adalah tahun 1999. Namun, BCA baru mengirimkan surat keberatan pada 2003. Terkait hal ini, KPK masih mendalami ada tidaknya penerimaan yang diterima oleh Hadi Poernomo yang telah menguntungkan Bank BCA. Namun, terkait perbuatan Hadi Poernomo, negara dirugikan sekitar Rp 375 miliar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar